Assalaamu ‘alaikum,
Gak salah Pak SBY itu dapat gelar S3, that’s why untuk kasus KPK, alih-alih mengeluarkan Perpu penunjukkan langsung, beliau malah menunjukkan Tim 5, yang nantinya akan jadi tameng beliau apabila dihujat masyarakat. Inilah persepsi awal saya, yang mungkin juga dimiliki oleh masyarakat umum, tentang taktik licin incumbent leader kita menghindari kontroversi Polri vs KPK? Benarkah demikian? Ternyata persepsi itu salah. Justru sebenarnya, Pak SBY lewat stafnya, yakni Hatta Rajasa, Widodo AS dan Andi Matalatta telah mempersipkan Perpu penunujukkan Plt pimpinan KPK yang segera diikuti dengan Keppres penunjukan langsung yang akan diumumkan sebelum beliau bertolak ke AS. Kalau tidak karena Pak Adnan Buyung Nasution "ngamuk-ngamuk" tentang Perpu penunjukkan langsung itu, tentulah semuanya berjalan sesuai rencana awal. Bang Buyung memang pantas ngamuk. Terbitnya Perpu saja sudah menuai kontroversi, apalagi adanya penunjukkan langsung. Ini bakal menjadi blunder politik Pak SBY. Dengan keluarnya Perpu tentang Tim 5 yang menyerahkan mandat penuh kepada Tim 5, Pak SBY justru "diuntungkan", karena dengan demikian, beliau bisa menjadikan Tim 5 sebagai tameng. Kalau masyarakat protes, beliau nanti bisa saja berkilah, lha itu kan pilihan Tim 5, dan saya cuma ACC saja kok.
Kekisruhan Cicak vs Buaya memang makin kusut dan membingungkan. Yang jelas pada intinya, siapa pun yang menang, maka yang akan tampak adalah "kebrengsekan" lembaga di negeri kita. Kok bisa begitu? Kalau ternyata Cicak yang salah alias pimpinan KPK memang menerima uang dan jual perkara, apa kata dunia nanti. Pimpinan lembaga anti korupsi kok malah KKN, lantas siapa lagi yang bisa dipercaya, dan bayaran termahalnya adalah hilangnya Trusthy dari masyarakat. Tapi kalau yang salah adalah Buaya, kita bakal prihatin dan kecewa abis, kok Polri kita bisa-bisanya bekerja gak profesional dan bikin rekayasa murahan sekelas sinetron gak mutu itu? Kenapa mereka cuma pandai menangkap teroris, tapi tidak pandai menebang para koruptor? Kalau pengayom masyarakat dan pelindung Kamtibmas saja sudah amburadul kerjanya, jangan pernah berharap kerja mereka secara keseluruhan, terutama dalam memberantas KKN adalah bagus. KKN itu kanker dari kehidupan masyarakat, yang sama bahayanya atau bahkan lebih bahaya daripada terorisme. Aparatnya saja sudah kayak gitu, apa yang bisa diharapkan. Kira-kira yang mana yang bakal jadi ending perseteruan ini?
Bagi masyarakat, nampaknya mayoritas, untuk saat ini, opini yang terbentuk adalah berpihak kepada KPK. Penetapan status tersangka oleh Polri memang terkesan mengada-ada dan penuh rekayasa. Sampai-sampai Pak Bibit Waluyo, salah satu pimpinan KPK pun mengeluhkan hal itu. Awalnya, pimpinan KPK hendak ditahan dengan dasar testimoni dari Pak AA, mantan Ketua mereka. Karena kurang kuat, lantas diubah lagi dengan tudingan menerima uang suap 5,1 milyar dari Anggoro Wijaya, terdakwa kasus korupsi yang juga Dirut PT Masaro, yang kini ngumpet di Singapore. Karena gagal lagi, maka tuduhan pun menjadi penyalahgunaan wewenang dalam pencekalan Anggoro dan juga pencabutan cekal Joko Candra. Bingung yah, tuduhan kok berubah-ubah, kayak arah angin saja, yang gak tentu bergantung pada musim. Bahkan Kapolri BHD pun sempat mengumumkan bahwa Anggoro tetap dicekal karena Chandra Hamzah belum kebagian duit 1 milyar. Di TV tadi pagi, Pak Chandra bersumpah Demi Allah bahwa beliau tidak pernah terima uang apa pun dan KPK bukan tempat cari duit. Polisi pun memaparkan bahwa duit 1 milyar itu diserahkan oleh Ary Mulyadi, brokernya Anggoro, ke Pak Chandra di suatu tempat. Tapi pengakuan ini akhirnya dicabut oleh Ary Mulyadi. Pak Chandra sendiri berhasil menunjukkan bukti bahwa pada hari tersebut beliau sedang rapat internal di KPK, dan ada bukti dokumennya. Pak Bibit saat itu sedang di Peru, dan ada buktinya pula. Kira-kira apa kata polisi tentang bantahan itu dan apa skenario selanjutnya?
Yang sebenarnya gak kalah lucu, setelah celetukan Cicak vs Buaya oleh Pak Kabareskrim Susno Duaji, adalah keluarnya Keppres tentang pemberhentian pimpinan KPK Pak Chandra dan Pak Bibit hanya kurang dari seminggu setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polisi. padahal Keppres untuk Pak AA saja dahulu perlu waktu yang cukup lama (CMIIW), tapi kenapa kali ini Keppres itu keluar begitu tergesa-gesa? Apalagi kini ada pihak yang mempraperadilankan hal itu. Kewenangan KPK untuk mencekal sudah diatur dalam UU, dan sudah dilaksanakan sejak lama, lantas kenapa baru kali ini dimasalahkan? Kalaupun pimpinan KPK melanggar kewenangan itu, menurut sebagian pakar hukum, hal itu tidak bisa dianggap sebagai kriminal, dan cukup di PTUN-kan saja sebagai pelanggaran administrasi. Lucunya lagi awal pemanggilan pimpinan KPK adalah karena surat permohonan dari Anggoro, sang koruptor mabur dengan alasan dia telah dizhalimi karena dicekal. Kenapa Pak Polisi justru gak berupaya menangkap Anggoro terlebih dahulu. Keluarnya Keppres pemberhentian sementara Pak Chandra dan Pak Bibit secara tidak langsung adalah simbol bahwa incumbent president membenarkan tindakan Pak Polisi. So secara tidak langsung, tindak Pak Polisi telah direstui dan diakui oleh Pak Presiden kita. Nah lho.
Pengeluaran Perpu tentang penunjukan Tim 5 pada akhirnya bisa dibilang sukses untuk membelokkan opini awal apakah pimpinan KPK itu bersalah atau tidak dan perlu ditetapkan sebagai tersangka atau tidak. Kini mau tak mau Perpu tersebut menggiring pemikiran kita untuk berkutat pada siapa yang pantas ditunjuk oleh Tim 5. Itu sama artinya, secara tidak langsung, kita semua pun terpaksa dan dipaksa setuju untuk membenarkan tindakan yang dilakukan oleh Pak Polisi. Ini berkah buat Pak Polisi, sekali tepuk, 2-3 lalat langsung kena.KPK sendiri, yang sebelumnya diisukan seluruh pimpinannya akan mengundurkan diri, telah mempersiapkan pertahana internal. Kalau pimpinan mereka tinggal 2, maka mereka sudah mempersiapkan 2 penasihat, Sekjen dan 5 Deputi mereka untuk menggantikan 3 pimpinan yang hilang. Tapi rencana ini buyar seiring dengan terbitnya Perpu Plt. Kata Pak M. Jasin, yah, mau apalagi, kita kan gak mungkin membuat keputusan yang menandingi Perpu. Tentang Perpu sendiri, logika Pak SBY mungkin benar, bahwa dengan 2 orang pimpinan, KPK tak mungkin bisa bekerja. Tapi apakah memang situasi negeri kita sudah segawat itu maka perlu dikeluarkan Perpu? Perpu biasanya dikeluarkan dalam keadaan darurat atau situasi genting yang memaksa. Apakah memang saat ini situasi kita sudah sampai ke taraf tersebut. Nah tambah lieur kan.
Kerumitan kasus KPK vs Polri, belum berakhir sampai di sini. Gak sedikit orang yang mengaitkan dengan kasus Bank Century, dan yakin di situlah hulunya. Bank ini ditalangi oleh Pemerintah dengan persetujuan DPR sebesar 1,3 trilyun rupiah. Namun dalam prakteknya, dana talangan membengkak menjadi 6,7 trilyun rupiah. Kok bisa begitu? Menkeu berkilah, keputusan bail out adalah hasil dari investigasi BI yang saat itu dikomandani oleh Pak Boediono, Cawapres terpilih. Pak Boed beralasan bahwa Century perlu ditalangi untuk mencegah rush dan hilangnya trusthy di saat krisis ekonomi. Tapi pihak yang kontra mencibirnya dengan mengatakan bahwa Bank Century adalah bank yang gagal dan sudah lama kinerjanya bobrok. Kenapa mereka malah menjadi golden boys untuk diselamatkan dan bukan dari dulu dieliminasi? Ada apa ini? Spekulasi pun merebak, apalagi Pak Susno yang Kabareskrim tertangkap basah disadap oleh KPK, dan katanya sedang "nodong" di kasus ini sebesar 10 milyar. Spekulasi pun merebak bahwa ini adalah tindakan balas dendam polisi terhadap KPK, sebelum mereka keduluan di"grebek". Ada lagi yang berspekulasi bahwa semua ini adalah untuk menahan agar kasus Bank Century tidak terbang menyundul langit atas. Lieur euiyy.
KPK juga bukan malaikat. Kalau memang bersalah, sudah sepantasnya ditindak, dan tidak ada seorangpun yang kebal hukum, apalagi di hadapan-Nya di Hari Akhir nanti. Hanya saja, perlu ada kejelasan apa yang dituduhkan beserta bukti-bukti yang jelas. Jadi masyarakat tau apa yang sedang terjadi. Gak seperti sekarang, masak sih tuduhan berubah-ubah kayak gitu, dan keliatan sekali skenario penuh rekayasa, tapi kurang matang. Ketika mentok di sini, lalu lari ke sana. Kalau mentok lagi, cari jalan lagi. Siapa pun yang salah, kita akan lihat nanti seiring berjalannya waktu. Tapi ingat, di dunia fana ini belum tentu yang namanya kebenaran yang akan tertawa paling akhir. Apa pun jadinya, saya pribadi berpegang pada prinsip simpel, "Untuk Menutupi Suatu Kebohongan Maka Kita Harus Berbohong Lagi, Terus dan Terus". Lihat saja nanti, siapa di antara kedua pihak, yakni cicak dan buaya, yang pada akhirnya ketauan bohong. Orang yang bersih dan jujur, akan sulit untuk berbohong, karena selain takut kepada Allah SWT, hati kecilnya juga akan berontak. Gak tau yah kalau memang dari sananya sudah busuk dan jahat, boleh jadi hati nuraninya gak akan proters dan dia juga menafikan keberadaan Sang Khalik. Then, pastilah pihak yang berbohong akan kerepotan untuk berbohong lagi agar rekayasanya keliatan bagus dan sempurna. Tapi sayang, at the end barang busuk akan tercium pula baunya. Selain berencana menikmati perseteruan ini, saya pun bersiap-siap untuk tertawa lagi. Ya, tertawa melihat si pembohong kerepotan bikin bualan barunya. Boleh jadi kisah bualan itu lebih lucu dari Opera Van Java-nya si Parto cs. Let’s see dah, meski lieur tapi menarik dan menggelikan.
Wassalaam,
Papa Fariz & Ayya aka Mas Boedoet